Di masa khulafaurasyidin, ada pemimpin yang berjalan di tengah gelap malam, menyusuri jalanan sunyi. Ia ingin tahu bagaimana keadaan rakyatnya, bukan sekadar mendengar laporan dari bawahannya. Suatu malam, ia menemukan seorang ibu tengah memasak batu, berpura-pura memasak makanan agar anak-anaknya bisa tertidur dengan harapan penantianya dapat menahan rasa lapar untuk beberapa waktu yang tiada menentu.
Dengan mata yang berkaca-kaca tak kuasa menyaksikan kondisi rakyatnya sedemikian itu, tanpa perlu waktu berpikir panjang bergegas membantu, menggendong sendiri sekarung gandum di punggungnya lalu memasak sendiri untuk keluarga itu. Ia adalah Umar bin Khattab.
Pada kurun waktu yang berbeda, terdapat seorang yang diriwayatkan begitu dermawan, hingga hartanya lebih banyak diberikan untuk kepentingan umat daripada disimpan untuk dirinya sendiri. Ia tak pernah ingin orang lain tahu akan kebaikannya.
Suatu hari, ada seorang tua yang buta, hidup miskin tanpa keluarga. Setiap hari, ada seseorang yang datang diam-diam membersihkan rumahnya, menyiapkan makanannya, lalu pergi tanpa meminta imbalan. Ketika orang tua itu bertanya siapa yang melakukannya, tak ada yang tahu—hingga suatu hari, ketika sosok itu wafat, barulah orang menyadari bahwa orang tersebut adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kemudian masih dalam kurun masa sahabat ada seorang pria dari negeri jauh, seorang pencari kebenaran yang akhirnya menemukan Islam. Ia bukan sekadar mengikuti, tapi membawa manfaat.
Ketika perang berkecamuk, ia memberikan saran untuk menggali parit, taktik yang belum dikenal oleh pasukan Muslim. Namun, strategi yang diadopsi dari peradaban lain ini tidak selalu mudah diterima oleh semua orang.
Filosofi dan cara berpikir yang berbeda sering kali menimbulkan tantangan dalam penerapannya.
Strategi penggalian parit yang diusulkan Salman Al-Farisi saat Perang Khandaq adalah hasil dari pemikirannya yang luas, mengadopsi strategi dari tanah kelahirannya, Persia.
Dalam sejarah, banyak peradaban besar yang bertahan karena kemampuannya untuk beradaptasi dan menyerap kebijaksanaan dari budaya lain. Namun, penerapan gagasan baru sering kali dihadapkan pada tantangan besar, baik dari aspek pemahaman, kebiasaan, hingga nilai-nilai yang telah lama mengakar.
Sepertihalnya di tatar sunda selalu ada problem kultur. Berangkat dari falsafah Sunda 'Cing caringcing pageuh kancing, set saringset pageuh iket' yang bermakna bahwa manusia sempurna, manusia Indonesia seutuhnya, manusia Jawa, dan manusia Sunda. sebagai rujukan dari kalimat tersebut, ia menjelaskan bahwa sejatinya manusia memiliki empat kerangka pondasi kuat, yaitu tanah, air, udara, dan matahari. Jika dianalogikan dalam warna, hitam melambangkan tanah, kuning udara, putih air, dan merah sebagai api. Analogi tersebut diadopsi dari falsafah Sunda "Papat Kalimat Pancer."
Konsep ini tidak jauh berbeda dari bagaimana manusia merespon perubahan dan tantangan, setiap elemen dalam diri manusia berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan pertarungan batin antara mempertahankan tradisi dan menerima inovasi.
Seperti halnya pasukan Muslim yang awalnya ragu terhadap strategi Salman Al-Farisi, namun akhirnya mengakui bahwa inovasi dapat menjadi kunci kemenangan, meskipun berasal dari pemikiran luar.
"Komponen tersebut sebenarnya merupakan sebuah pertikaian manusia dengan alam secara utuh. Yang dialektikanya dimulai dengan dialektika rasa."
Sosok-sosok itu pernah ada. Mereka bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan teladan yang semestinya tetap hidup dalam setiap zaman. Namun, di masa kini, di manakah sosok seperti mereka? Adakah pemimpin yang benar-benar turun ke jalan, merasakan sendiri derita rakyatnya? Adakah orang kaya yang memberikan hartanya tanpa ingin dikenal? Adakah cendekiawan yang menawarkan solusi tanpa mencari keuntungan pribadi?
Di sebuah kampung, kadang kita melihat bayangan itu. Ada seseorang yang berjalan di antara rakyat kecil, berbincang dengan mereka tanpa sekat, menyeka air mata mereka yang terluka oleh kerasnya hidup. Ia tak segan mengangkat sendiri beban rakyat yang tertindas, membantu dengan tangannya sendiri, bukan sekadar kata-kata. Namun, sosok seperti itu semakin jarang.
Apakah masih ada pemimpin seperti mereka? Atau kita hanya bisa merindukannya?
0 Komentar